“Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan orang yang sesat”
Lukas 19: 10
PENGANTAR INJIL LUKAS
Penulis
Nama “Injil Lukas” diambil dari nama penulisnya, “Lukas” (Λουκᾶς). Nama ini merupakan nama yang berasal dari budaya Yunani-Romawi (Greko-Romawi). Ia tinggal di Antiokhia, Siria, dan berprofesi sebagai seorang tabib/ dokter (bdk. Kolose 4: 14). Ia menjadi percaya karena pelayanan Rasul Paulus. Karena itu, Lukas bukan saksi mata langsung dari kehidupan Yesus, melainkan ia mengumpulkan informasi dari berbagai sumber (bdk. Lukas 1: 1-4). Para ahli modern mengatakan bahwa sumber-sumber utama tulisan Lukas adalah Injil Markus, sumber Q (6: 47-49; 7: 31-35; 11: 24-26; 12: 39-40; dsb), dan sumber L (1: 5-2: 40; 5: 1-11; 7: 11-17; 36-50; 8: 1-3; 9: 51-56; dst). Umumnya, sumber Q dan L dibagi dalam dua kelompok, yaitu 6: 17-8: 3 dan 9: 51- 18: 14. Sumber L membentuk bagian awal dari kedua kelompok tersebut, termasuk pembukaan dan masa kecil Yesus.
Lukas menjadi “rekan pelayanan” atau “teman sekerja” (συνεργός) Paulus yang setia (bdk. 2Timotius 4: 11; Filemon 1: 24), bahkan ia disapa “ὁ ἀγαπητὸς” (yang terkasih) (bdk. Kolose 4: 14). Namun, latar belakang Lukas masih menjadi perdebatan, apakah ia berlatar belakang Yahudi atau bukan. Sebab, pada masa itu, sudah banyak orang Yahudi diaspora yang menggunakan nama-nama Yunani dan Latin. Selain menulis Injil Lukas, Lukas juga dipercaya sebagai penulis Kisah Para Rasul, sebab kedua kitab ini sama-sama ditujukan kepada “Teofilus” (bdk. Lukas 1: 1 dan Kisah Para Rasul 1: 1). Di samping itu, kedua kitab ini memiliki gaya penulisan bahasa Yunani yang mirip.
Ia adalah penulis yang terampil dengan gaya bahasa Yunani yang sangat baik, sebab sebagai seorang tabib tentulah ia memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Ia juga adalah sejarawan yang teliti dan teolog yang hebat, yang diilhami dan digerakkan Roh Kudus.
Injil Lukas
Injil Lukas termasuk dalam “Injil sinoptik” bersama-sama dengan Injil Matius dan Markus. Diperkirakan Injil ini ditulis pada tahun 80-110, tetapi ada bukti-bukti lain yang mengindikasikan bahwa Injil ini terus direvisi hingga abad ke-2. Naskah aslinya sendiri sudah tidak ditemukan, bahkan naskah-naskah Yunani yang ada sekarang berasal dari salinan ketiga, dimana tidak ada satu pun naskah yang identik satu dengan yang lainnya.
Injil ini ditujukan kepada Teofilus (Θεόφιλος), yang secara harfiah berarti “dikasihi Allah”, “mengasihi Allah” atau “sahabat Allah”. Siapa Teofilus tidak dijelaskan. Ia hanya disebutkan dua kali dalam Alkitab, yaitu dalam Injil Lukas (1: 1) dan Kisah Para Rasul (1: 1). Ia disapa “κράτιστος” (yang mulia), yang merupakan gelar kehormatan dalam masyarakat Romawi, sehingga diduga ia adalah seorang pejabat Romawi atau seorang yang terpelajar sama seperti Lukas. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah pengacara Paulus ketika Paulus menghadapi persidangan di Roma. Meski begitu, ada juga yang berpandangan bahwa Teofilus adalah seorang Yahudi Aleksandria, sebagaimana pandangan Gereja Koptik, atau seorang imam Yahudi yang disegani.
Namun, melihat penggunaan istilah-istilah dalam Injil Lukas, maka kecenderungannya Injil ini ditujukan kepada seorang non-Yahudi. Lukas juga punya harapan agar lebih banyak orang-orang non-Yahudi yang membaca Injilnya ini agar mereka mengetahui kebenaran di dalam Kristus, khususnya mereka yang berasal dari kalangan terpelajar.
Ketika Injil ini ditulis, sepertinya jemaat yang non-Yahudi belum memiliki Injil yang lengkap dan tersebar luas mengenai Yesus. Matius menulis Injilnya untuk orang-orang Yahudi, sedangkan Markus dipercaya menulis Injilnya untuk jemaat di Roma. Jemaat-jemaat non-Yahudi memang sudah memiliki kisah-kisah lisan tentang Yesus yang diceritakan oleh para saksi mata, tetapi catatan lengkapnya belum tersedia. Injil Lukas menjadi catatan komprehensif yang disajikan Lukas melalui penyelidikan yang seksama (bdk. Lukas 1: 1-4).
Untuk menjawab kebutuhan jemaat-jemaat berbudaya Yunani, Lukas menyorot Kristus dari sudut pandang yang lebih universal, mulai dari cerita masa kecil Yesus yang lebih komplit (bdk. 1: 5-2: 40), sebab riwayat masa kecil tidak begitu penting dalam tulisan-tulisan Yahudi. Lukas juga mengangkat silsilah Yesus yang ditarik sampai ke Adam, “bapak semua manusia”—tidak hanya sampai ke Abraham, “bapak orang percaya”, seperti dalam tulisan Matius. Lukas juga menekankan konsep Soteriologi yang universal, berlaku tidak hanya bagi orang-orang Yahudi.
Mengenai Yesus, ia menekankan aspek kemanusiaan dalam pelayanan Kristus, baik pribadi Kristus sendiri maupun sasaran pelayanan Kristus. Kemanusiaan Yesus mulai diceritakan dari masa kecil-Nya yang lebih lengkap dibanding Injil lain. Sementara, dalam pelayanan-Nya, Yesus digambarkan penuh dengan kelemahlembutan dan memberi perhatian kepada orang-orang yang termarginal, seperti kaum perempuan, anak-anak, orang-orang miskin, dan kelompok-kelompok yang dianggap “sampah masyarakat”. Lukas benar-benar berhasil menghadirkan Yesus sebagai “Sang Tabib Agung”, yang tidak saja memulihkan penyakit fisik, tetapi juga penyakit sosial dan penyakit rohani (dosa).
Kristologi menjadi pusat teologi Injil Lukas. Beberapa gelar yang kerap ia gunakan adalah Kristus, Tuhan, Anak Allah, dan Anak Manusia. Namun, gelar yang mendapat penekanan khusus dalam Injil ini adalah gelar “Anak Manusia” (ὁ Υἱὸς τοῦ ἀνθρώπου). Yesus adalah Anak Manusia yang dekat dengan orang-orang yang termarginal, baik karena sistem sosial Yahudi maupun Romawi (bdk. 7:13, 37-50; 10: 25-37; 15: 1-7; 16: 20-21; 17: 12; 23: 40-43), Ia mengasihi semua orang (bdk. 3: 6; 24: 46-53), dan Ia adalah Anak Manusia yang tekun berdoa (3: 21; 5: 15-16; 6: 12; 9: 18-22, 29; 10: 17-21; 11: 1; 22: 39-46; 23: 34, 46).
Secara sastra, penyajian kisah Yesus dalam Injil Lukas memiliki kemiripan dengan kisah-kisah figur “juru selamat” dalam kisah-kisah Greko-Romawi. Hal ini menunjukkan keseriusan Lukas untuk menjangkau audiensnya dari masyarakat Greko-Romawi untuk percaya kepada Kristus.
Karena Lukas sangat serius menyajikan Injilnya secara teliti dan teratur, maka tulisannya pun cenderung disajikan dalam kronologis kehidupan Yesus:
- Masa Muda Yesus (1: 5-4: 13)
- Pelayanan di Galilea (4: 14-9: 50)
- Perjalanan ke Yerusalem (9: 51-19: 44)
- Yesus di Yerusalem (9: 45-24: 53).
Selama bulan Desember, GKRIDC akan fokus mengangkat tema-tema khotbah dari Injil Lukas, sekaligus menyesuaikan dengan tema minggu-minggu Adven, serta tema Natal 2023 dari PGI-KWI.
Minggu Adven
Kata “Adven” diambil dari kata Latin: adventus, yang berarti “kedatangan”. Dalam kalender gerejawi, istilah ini digunakan untuk hari-hari persiapan menjelang Kelahiran Yesus Kristus (Natal) dan kedatangan Yesus kembali. Kata adventus dalam bahasa Latin sendiri digunakan untuk menerjemahkan istilah Yunani: parousia (παρουσία), yang dalam Perjanjian Baru digunakan untuk kedatangan kembali Yesus Kristus di akhir zaman.
Karena itu, perayaan Adven bertujuan untuk mempersiapkan jemaat dalam menyambut “kedatangan Kristus” dalam tiga perspektif: kelahiran-Nya di Betlehem, menyambut Kristus di dalam hati orang-orang percaya, dan kedatangan-Nya kembali secara eskatologis di akhir zaman.
Dalam liturgi gereja, biasanya sepanjang Adven menggunakan warna “ungu” sebagai warna liturgis, melambangkan pertobatan dan penyesalan, yang juga disertai dengan puasa. Itulah juga sebabnya beberapa aliran gereja tidak merayakan Natal di masa-masa Adven.
Minggu I (3 Desember 2023) – Adven I
BERJAGA-JAGALAH
Lukas 21: 25-28, 34-36
FOKUS: “Anak Manusia datang membawa pembebasan dan memberi harapan baru bagi orang percaya”
Pengantar Nats:
Penulis Injil Lukas mengutip ajaran Yesus tentang kehancuran dunia, yang dimulai dengan hukuman Tuhan atas Israel dengan runtuhnya Yerusalem (ay. 20-24). Selanjutnya akan muncul berbagai malapetaka yang akan menghancurkan alam semesta, dimana kekuatan dunia bertumpuh. Memang gambaran kehancuran dalam Injil Lukas tidak sedetail dalam Injil Matius dan Markus (bdk. Matius 24: 29-31; Markus 13: 24-27), tetapi ada dua poin yang membuat Injil Lukas berbeda dengan Matius dan Markus: Pertama, soal reaksi orang-orang dunia yang akan menghadapi ketakutan besar karena tempat pengharapan mereka mulai runtuh (ay. 26); Kedua, sikap orang-orang percaya yang akan bangkit karena pembebasan yang dinanti-nantikan akan segera digenapi (ay. 28, 34-36).
Pembahasan:
Penekanan Minggu Adven I adalah “harapan”. Di tengah situasi dunia yang semakin tidak menentu saat ini, kepada siapakah kita menggantungkan harapan kita? Berharap pada pemimpin-pemimpin dunia bukanlah jaminan, sebab banyak pemimpin yang korup dan malah menghantarkan kita kepada kebinasaan. Berharap pada dunia juga bukan jaminan, sebab dunia cenderung mendatangkan ketakutan dengan ancaman-ancaman perang, ketidakadilan, krisis, dan sebagainya. Berharap pada harta juga bukan jaminan, sebab harta akan lenyap dan tidak kekal. Intinya, jika kita menggantungkan harapan kita kepada dunia ini, maka kita akan menghadapi ketakutan bahkan kengerian, sebab semuanya itu akan hancur binasa menjelang kedatangan kembali Tuhan Yesus Kristus. Jadi, bagaimana sikap orang percaya menyambut kedatangan kembali Tuhan Yesus Kristus?
Minggu II (10 Desember 2023) – Adven II
“KESELAMATAN DARI TUHAN”
Lukas 3: 1-6
FOKUS: “Anak Manusia datang untuk menyatakan kasih Allah bagi manusia”
Pengantar Nats:
Berbeda dengan Matius dan Markus, Lukas menggambarkan kehadiran Yohanes Pembaptis dengan referensi sejarah yang lebih lengkap (ay. 1-3 bdk. Matius 3: 1-3; Markus 1: 1-3). Lukas juga mengutip Yesaya 40 tidak hanya sebatas ay. 3, tetapi sampai ay. 5 yang menekankan frasa “semua orang” (πᾶσα σὰρξ—ay. 6). Ada dua poin penting yang ditekankan dari ay. 4 dan 5: Pertama, kedatangan Kristus adalah untuk menyatakan kasih Allah, sehingga Ia hadir untuk menyingkirkan segala masalah yang menghalangi orang untuk datang pada Tuhan (ay. 4); Kedua, keselamatan yang ditawarkan Kristus berlaku universal, tidak hanya kepada orang Yahudi (ay. 5).
Pembahasan:
Minggu Adven II menekankan tentang “kasih Allah”. Kasih Allah bersifat universal, tidak terbatas pada suku atau kaum tertentu. Bagi Allah, dunia ini sangatlah berharga, sehingga Ia berinisiatif untuk menyelamatkan dunia meskipun dunia telah dikuasai oleh dosa. Karena itu, orang-orang percaya dipanggil untuk memberitakan keselamatan yang berbasis pada “kasih Allah”, bukan semata-mata soal penghakiman dan murka Allah. Bagaimana kita sebagai orang percaya dapat hadir untuk menyingkirkan segala masalah yang menghalangi orang untuk datang pada Tuhan, menghadirkan Kristus sebagai “Sang Pembebas”—bukan semata-mata sebagai Hakim yang menakutkan; dan menawarkan keselamatan kepada semua orang?
Minggu III (17 Desember 2023) – Adven III
“BERBAHAGIALAH ORANG YANG PERCAYA”
Lukas 1: 39-45
FOKUS: “Anak Manusia datang membawa sukacita iman”
Pengantar Nats:
Kisah tentang Maria dan Elisabet hanya dicatat dalam Injil Lukas. Kedua ibu ini sama-sama sedang berbahagia oleh karena anugerah Tuhan. Maria datang mengunjungi Elisabet sebab usia Elisabet lebih tua, meskipun Maria sedang mengandung bayi yang lebih tinggi martabatnya. Kunjungan Maria mendatangkan sukacita besar bagi Elisabet oleh karena bayi Yesus yang ada dalam kandungan Maria. Tetapi, kunci penting untuk menikmati sukacita dalam Kristus adalah “percaya” (ay. 45).
Pembahasan:
Minggu Adven III disebut Minggu Gaudete atau Minggu Sukacita. Tidak ada sukacita yang lebih besar daripada sukacita menyambut kehadiran Kristus di dalam hati kita, sebab kehadiran-Nya mendatangkan kelepasan, pengampunan dan damai sejahtera. Menyambut kelahiran Kristus dan kedatangan-Nya kembali, orang percaya hendaknya hidup dalam sukacita untuk menghadapi segala situasi dan kondisi. Sukacita hanya bisa timbul karena percaya/ iman. Apa saja dampak sukacita bagi hidup orang percaya?
Minggu IV (24 Desember 2023) – Adven IV (Malam Kudus)
“BEROLEH ANUGERAH”
Lukas 1: 26-38
FOKUS: “Anak Manusia menghadirkan damai sejahtera bagi semua orang”
Pengantar Nats:
Kisah pemberitahuan kelahiran Tuhan Yesus kepada Maria oleh Malaikat Gabriel hanya dicatat dalam Injil Lukas. Kisah ini seperti kepingan puzzle untuk melengkapi catatan Injil Matius. Dalam Injil Matius, cerita Natal ditandai dengan kunjungan malaikat kepada Yusuf dalam mimpi untuk meneguhkan hatinya yang ragu saat tahu bahwa Maria, tunangannya, sedang hamil. Bagi orang-orang Yahudi—yang sangat patriarkat—kisah Yusuf sudah cukup untuk mengonfirmasi kemesiasan Yesus, tetapi bagi orang-orang non-Yahudi tentunya akan muncul pertanyaan “bagaimana dengan respons Maria ketika tahu bahwa ia sedang mengandung Sang Juruselamat dunia?”. Karena itu, catatan Injil Lukas ini melengkapi kepingan kisah yang hilang dalam Injil Matius, yang menyoroti tentang “sang ibu”. Poin penting dari perjumpaan ini adalah mengenai “anugerah” (χάρις). Anugerah Allah dikerjakan oleh Roh Kudus dan dapat menyingkirkan ketakutan (ay. 30, 35), tetapi membutuhkan keikhlasan untuk menerimanya (ay. 38).
Pembahasan:
Minggu Adven IV menekankan tentang “damai sejahtera”. Orang yang hidup dalam damai sejahtera bukanlah orang yang hidup tanpa persoalan atau pergumulan, melainkan orang yang sanggup mengatasi ketakutan yang mengintimidasi hatinya. Menjelang kedatangan Kristus, ada begitu banyak hal-hal yang menakutkan di sekitar kita, karena itu sebagai orang-orang yang telah memperoleh anugerah keselamatan di dalam Kristus, seharusnya hidup kita tidak dikuasai oleh ketakutan, melainkan diteguhkan dan dikuatkan oleh Roh Kudus, sehingga kita dapat mengatasi segala ketakutan itu. Bagaimana sikap orang-orang percaya untuk menyingkirkan ketakutan dan hidup dalam damai sejahtera menyambut kedatangan Kristus?
Natal (25 Desember 2023)
“KEMULIAAN BAGI ALLAH & DAMAI SEJAHTERA DI BUMI”
Lukas 2: 14
FOKUS: “Memuliakan Tuhan Dengan Menghadirkan Damai Sejahtera Kristus” (Tema Natal PGI-KWI Tahun 2023)
Pengantar Nats:
Kisah gembala-gembala di padang hanya dicatat dalam Injil Lukas (2: 8-20). Mereka mewakili kaum yang sangat disorot oleh Lukas, yaitu masyarakat kecil—kaum buruh upahan—yang sibuk bekerja hingga larut malam, bahkan sering menginap di padang untuk menjaga kawanan domba. Mereka dilawat oleh Tuhan melalui malaikat-malaikat yang menyanyikan kidung pujian kepada Allah dan janji damai sejahtera di bumi (ay. 9-14). Selanjutnya mereka berjumpa dengan “bayi Natal”, tanpa kemewahan persembahan seperti kaum majusi dalam Injil Matius. Tetapi, melalui perjumpaan dengan Kristus, mereka memperoleh damai sejahtera dan bisa memuliakan Allah (ay. 20).
Pembahasan:
Di dalam Pesan Natal PGI-KWI 2023 disorot mengenai makna Natal sebagai sukacita karena Allah yang berkenan menjumpai seluruh ciptaan-Nya. PGI dan KWI mengajak gereja-gereja untuk merefleksikan “tema Natal” ke dalam situasi terkini di Indonesia, baik menghadapi Pemilu 2024, masalah kemajemukan dan intoleransi, kerusakan lingkungan akibat polusi, dan berbagai persoalan lainnya. Kita juga diajak untuk memanfaatkan perkembangan teknologi, khususnya media sosial, untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan, kebenaran, keadilan, setiakawan, dan tenggang rasa (bdk. Pesan Natal PGI-KWI Tahun 2023). Natal mengajak setiap kita untuk memuliakan Allah, bukan hanya melalui pujian dan penyembahan, tetapi juga melalui tindakan nyata dengan menghadirkan damai sejahtera di bumi. Bagaimana peran orang-orang percaya untuk menghadirkan damai sejahtera Kristus di sekitar kita?
Minggu V (31 Desember 2023) – Tutup Tahun
“DIMANAKAH KEPERCAYAANMU?”
Lukas 8: 22-25
FOKUS: “Meneladani Anak Manusia menaklukkan ketakutan di tengah badai”
Pengantar Nats:
Matius, Markus, dan Lukas sama-sama mencatat peristiwa Tuhan Yesus meredakan topan. Catatan ketiganya mengenai peristiwa ini pun nyaris sama. Perbedaan tulisan Lukas yang sangat mencolok adalah tidak ditekankannya teguran Yesus soal ketakutan murid-murid. Matius dan Markus sama-sama menuliskan bagaimana Yesus menegur murid-murid karena ketakutan mereka, sementara Lukas fokus pada hilangnya kepercayaan atau iman mereka (ay. 25). Sebagai seorang tabib, Lukas memandang ketakutan sebagai hal yang manusiawi, dan ia pun paham bahwa Kristus, Sang Anak Manusia, juga memahami ketakutan-ketakutan yang dihadapi setiap insan manusia. Lukas bahkan menggambarkan ketakutan yang sangat besar dialami Anak Manusia di Taman Getsemani hingga peluh-Nya seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (22: 44). Gambaran ketakutan Yesus ini melebihi gambaran yang dicatat dalam Injil Matius dan Markus (bdk. Matius 26: 37-38; Markus 14: 33-34). Jadi, yang menjadi masalah bukanlah ketakutan, melainkan bagaimana iman mengatasi ketakutan itu.
Pembahasan:
Tidak sedikit badai kita lalui sepanjang tahun ini, entah badai alam maupun badai karena persoalan hidup. Kita juga tidak bisa menduga kapan badai itu datang kembali. Tahun yang baru, yang kita sambut dengan sukacita, juga bukan berarti tahun yang teduh tanpa badai. Tetapi sebagai orang percaya, kita seharusnya tidak perlu takut sebab kita punya kekuatan, yaitu iman kita. Kita percaya bahwa Kristus ada bersama-sama dengan kita. Namun, ada kalanya, ketika kita perlu menggunakan—bahkan mengandalkan—iman kita, justru kita kehilangan iman. Bagaimana sikap orang percaya dalam menggunakan iman di tengah badai?