“Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak terguncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut. Sebab, Allah kita adalah api yang menghanguskan”
Ibrani 12: 28-29 (TB2)
Penulis surat Ibrani menggambarkan persekutuan orang-orang percaya (gereja) sebagai “kerajaan yang tidak terguncangkan” (basileia asaleutos), yaitu kerajaan yang eksistensinya tidak akan lenyap hingga akhir zaman. Karena itu, sebagai umat pilihan yang telah diselamatkan di dalam Tuhan Yesus Kristus, maka kita diajak untuk “mengucap syukur” dan “beribadah” kepada Allah “menurut cara yang berkenan kepada-Nya.”
Cara yang berkenan kepada Allah, yang dimaksud oleh penulis surat Ibrani, yaitu “meta aidous kai eulabeias” (TB-2: “dengan hormat dan takut”). Dua kata ini bukan kata yang lazim muncul dalam Perjanjian Baru.
Kata aidous berasal dari kata aidos. Selain dalam perikop ini, kata ini hanya ditemukan dalam 1Timotius 2: 9 diterjemahkan “sopan”. Kata ini berakar dari dua kata: a (tidak) dan eidō (melihat). Jadi, gagasan dasar dari kata ini adalah “mata yang tertunduk”, menggambarkan rasa malu, sopan, kagum, dan sekaligus rasa hormat.
Sedangkan, kata eulabeias dari kata eulabeia. Selain dalam perikop ini, kata ini hanya muncul dalam Ibrani 5: 7 diterjemahkan “kesalehan”. Kata ini berakar juga dari dua kata: eu (baik) dan lambanō (mengambil). Jadi, secara harfiah kata eulabeia bisa diartikan “bersikap baik” atau bisa juga berarti “takwa” (tunduk dan taat kepada Allah).
Jika disimpulkan, maka “meta aidous kai eulabeias” menunjukkan sikap hormat, tunduk dan taat kepada Allah. Demikianlah seharusnya sikap kita dalam beribadah. Ibadah adalah momen perjumpaan kita dengan TUHAN, Sang Raja dalam kerajaan yang tidak terguncangkan. Maka, sudah seharusnya kita hadir dengan segala rasa hormat, tunduk dan taat, selayaknya ketika kita menghadap Sang Raja.
Untuk itu, sepanjang November 2023 ini, GKRIDC akan menekankan beberapa aspek penting dalam ibadah, mencakup nazar dan persembahan, pujian dan penyembahan, pengakuan dan pengampunan dosa, serta kesatuan dan doa.
Minggu I (5 November 2023)
PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN
Kejadian 28: 16-22
FOKUS: “Konsep persepuluhan bagi orang Kristen”
Pengantar Nats:
Ketika TUHAN melawat Yakub dalam mimpi, ia menjadi takut dan sekaligus takjub kepada TUHAN (ay. 17). Dalam ketakjubannya itu, Yakub digambarkan seperti seorang anak kecil yang “merengek” kepada orang tuanya seraya mengajukan “permintaan-permintaan” yang hanya bisa dikabulkan oleh TUHAN (ay. 20-22). Ia pun menyampaikan nazar, dimana salah satunya adalah tekadnya untuk memberikan “persembahan persepuluhan”.
Pembahasan:
Ibadah pertama yang disebutkan dalam Alkitab adalah “mempersembahkan kurban”. Tempat ibadah pertama disebut “mezbah” atau “altar”, yang dalam bahasa Ibrani disebut “mizbeakh”, dari kata zavakh, artinya “menyembelih”, merujuk pada ritual mempersembahkan kurban. Selanjutnya, Musa memperkenalkan berbagai konsep persembahan, termasuk di antaranya “persepuluhan” (bdk. Ulangan 14: 22-29; 26: 12-15). Setelah Bait Suci Kedua hancur (+ 70M), persembahan dalam bentuk kurban pun tidak lagi dilakukan oleh orang-orang Yahudi, termasuk Persepuluhan I dan II. Sementara, Persepuluhan III masih dijalankan dalam bentuk Tsedaqâ. Bagaimana dengan konsep “Persepuluhan” dalam kekristenan?
Minggu II (12 November 2023)
PUJILAH TUHAN!
Mazmur 150
FOKUS: “Konsep pujian dan penyembahan dalam ibadah Kristen”
Pengantar Nats:
Sebagai mazmur penutup, Mazmur 150 ini menjadi puncak dari luapan “puji-pujian” kepada TUHAN. Orang-orang Ibrani sendiri menyebut nama kitab ini: Tehillim, yang berarti “puji-pujian”. Mazmur 150 berbicara singkat, padat dan jelas tentang konsep “puji-pujian” dalam ibadah. Kata “halelūhû” (pujilah DIA) digunakan berkali-kali dalam keseluruhan nats ini ditambah dengan kata “halelû YAH” yang membuka dan menutup keseluruhan nats.
Pembahasan:
Sejak zaman Musa, ibadah di Kemah Pertemuan (Ohel) lebih fokus pada persembahan kurban. Namun, pada zaman Daud, unsur nyanyian dimasukkan ke dalam peribadatan sejak zaman Daud. Bahkan, Daud membentuk tim pemimpin nyanyian dan penyanyi di Kemah Pertemuan (bdk. 1Tawarikh 6: 31-47). Meski begitu, nyanyian pujian sudah menjadi bagian dari perjalanan spiritual umat Israel, misalnya ketika Musa dan orang-orang Israel menyanyi usai menyeberangi Laut Teberau (Keluaran 15: 1). Tuhan Yesus pun “menyanyikan nyanyian pujian” (humneō) bersama murid-murid-Nya sebelum Ia ditangkap (Matius 26: 30; Markus 14: 26). Bagaimana konsep “Pujian dan Penyembahan” dalam ibadah Kristen?
Minggu III (19 November 2023)
MENGAKU DOSA
1Yohanes 1: 5-10
FOKUS: “Konsep pengakuan dosa dalam ibadah Kristen”
Pengantar Nats:
Dalam nats ini Yohanes mengingatkan bahwa sekalipun kita telah disucikan dari segala dosa dengan darah Yesus (ay. 7) tetapi bukan berarti bahwa kita “tidak memiliki dosa” (hamartian ouk ekhoumen) (ay. 8) atau “tidak berbuat dosa” (hēmartēkamen) (ay. 10). Orang percaya yang menyebut dirinya “tidak memiliki dosa” dan “tidak berbuat dosa” justru “menipu diri sendiri”, “tidak ada kebenaran”, dan “firman-Nya tidak ada di dalamnya” (ay. 8 dan 10). Justru kesadaran akan dosa membuat kita selalu bergantung pada Sang Penebus Dosa, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Di dalam dan melalui Dia, kita memperoleh pengampunan dan penyucian melalui pengakuan dosa.
Pembahasan:
Ada dua ajaran tentang dosa yang ditolak tegas oleh gereja dan berkaitan erat dengan nats ini, yaitu Perfeksionisme atau Eradikasionisme, yang mengajarkan bahwa orang Kristen tidak mungkin lagi berbuat dosa, dan Antinomianisme yang berpandangan bahwa orang Kristen bebas dari hukum moral, sehingga semata-mata hanya mengandalkan “anugerah” atau “kasih karunia”. Rasul Paulus sendiri mengajarkan kita untuk tidak lagi hidup dalam dosa (bdk. Roma 6: 1-2). Artinya, perbuatan dosa itu masih mungkin dilakukan oleh orang percaya. Jadi, bagaimana konsep “mengakui dan menjauhi dosa” agar tetap berkenan di hadapan Allah?
Minggu IV (26 November 2023)
SEPAKAT MEMINTA
Matius 18: 19-20
FOKUS: “Konsep doa bersama dalam ibadah Kristen”
Pengantar Nats:
Nats ini menekankan pentingnya kebersamaan di antara orang-orang percaya. Kebersamaan orang-orang percaya membentuk persekutuan dan dalam persekutuan kita mendapat otoritas (bdk. ay. 18). Karena itu, dalam persekutuan ada kesehatian dan kesepakatan (sumfōnēzōsin), sehingga setiap doa yang dinaikkan dalam kebersamaan tentulah dijawab oleh TUHAN. Permintaan kita akan dikabulkan oleh TUHAN (ay. 19). Selain itu, dalam persekutuan, Kristus hadir (ay. 20).
Pembahasan:
Setiap doa orang percaya tentulah didengar dan dijawab oleh TUHAN, meskipun doa-doa itu disampaikan secara pribadi. Tetapi, Tuhan Yesus sendiri menghendaki kita hidup dalam kebersamaan, yaitu dalam persekutuan (koinonia) dengan semua orang percaya. Doa bersama sudah dilakukan sejak kehidupan jemaat mula-mula (bdk. Kisah Para Rasul 4: 42). Bagaimana konsep “doa bersama” dalam kekristenan?