“Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah berasal dari kekayaannya itu”
Lukas 12: 15 (TB2)
13 Seorang dari orang banyak itu berkata kepada Yesus, “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.”
14 Namun, Yesus berkata kepadanya, “Saudara, siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau penengah atas kamu?”
15 Kata-Nya lagi kepada mereka, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah berasal dari kekayaannya itu.”
16 Kemudian Ia menyampaikan kepada mereka suatu perumpamaan, “Ada orang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. 17 Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku. 18 Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat: Aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya semua gandum dan harta bendaku. 19 Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, engkau memiliki banyak harta, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!
20 Tetapi, Allah berfirman kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil darimu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?”
21 Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, tetapi tidak kaya di hadapan Allah.
Tuhan Yesus diperhadapkan dengan kasus sengketa warisan, tetapi Ia menolak menangani kasus itu dan justru mengingatkan orang-orang untuk mewaspadai ketamakan. Memang sudah menjadi tradisi—bahkan “hukum”—di kalangan Yahudi pada zaman Tuhan Yesus, jika ada sengketa, termasuk sengketa warisan, maka urusannya akan ditangani oleh seorang Rabi, yang paham tentang Taurat.
Tuhan Yesus sendiri dipandang sebagai Rabi di kalangan orang-orang Yahudi pada masa itu, sehingga Ia punya otoritas untuk menangani kasus sengketa warisan. Tetapi, ada dua pandangan soal kasus dalam nats ini, yang pertama melihat bahwa orang ini sedang berusaha mendapatkan warisan yang sama banyak dengan saudaranya, yang mana hal itu bertentangan dengan hukum Taurat. Sebab, menurut hukum Taurat, anak sulung mendapatkan bagian dua kali lipat dibanding anak bungsu (bdk. Ulangan 21: 15-17). Dengan demikian, teguran Tuhan Yesus justru ditujukan kepada orang itu.
Pandangan lain, bahwa saudara orang itu memang berlaku tidak adil dengan menahan atau bahkan mengambil hak warisan yang bukan bagiannya. Artinya, Tuhan Yesus menjadikan saudara orang itu sebagai contoh ketamakan.
Apa pun penafsirannya, inti dari peristiwa ini adalah Tuhan Yesus tidak berkenan dengan sikap orang itu yang ingin memanfaatkan Tuhan Yesus bagi kepentingannya sendiri dalam perselisihannya dengan saudaranya. Setidaknya, ada dua alasan utama kenapa Tuhan Yesus tidak berkenan dengan sikap orang itu. Pertama, karena kehadiran Tuhan Yesus bukan sekedar sebagai Rabi seperti kebanyakan Rabi pada zaman itu, yang terlalu fokus pada persoalan-persoalan penegakan hukum Taurat dalam urusan-urusan duniawi, melainkan kehadiran Tuhan Yesus adalah untuk menuntun orang-orang agar masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Bagi Tuhan Yesus, Kerajaan Allah bukanlah soal urusan duniawi. Harta tidak akan sanggup membawa seseorang masuk ke dalam Kerajaan Allah. Bahkan, Tuhan Yesus dengan tegas mengatakan bahwa “orang kaya sukar masuk ke dalam Kerajaan Allah” (bdk. Matius 19: 23-24). Di dalam Roma 14: 17, Rasul Paulus dengan tegas juga mengatakan bahwa Kerajaan Allah itu bukan soal makanan dan minuman—atau dengan kata lain, bukan soal hal-hal yang lahiriah, melainkan soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
Masalahnya di sini, orang yang disebutkan dalam nats ini datang kepada Tuhan Yesus dan meminta bantuan Tuhan Yesus untuk mengurusi perkara lahiriah. Itulah sebabnya Tuhan Yesus langsung menolaknya.
Alasan kedua adalah karena orang ini terlalu fokus pada masalah hartanya, meskipun itu mengorbankan persaudaraannya. Sesuatu yang sangat tidak disukai oleh Tuhan Yesus. Tuhan Yesus selalu mengajarkan bahwa kasih di atas segalanya. Kita harus mengasihi meskipun untuk mengasihi kita harus mengorbankan hal yang paling berharga dalam hidup kita. Tuhan Yesus sendiri memberikan teladan, bahwa Ia tidak menyayangkan nyawa-Nya sendiri demi kasih-Nya kepada dunia ini.
Sayangnya, realitas kaburnya kasih kerap terjadi dalam kehidupan kita dewasa ini. Banyak orang rela mengorbankan lebih banyak kasih dan persaudaraan demi harta atau kedudukan. Lebih takut kehilangan harta daripada kehilangan saudara dan sahabat. Ada anak tega menuntut orang tuanya secara hukum demi warisan. Ada suami tega membunuh istrinya demi harta, serta banyak lagi kasus-kasus perebutan harta dan warisan yang menguburkan kasih di tengah dunia ini.
Karena itu, Tuhan Yesus mengingatkan supaya waspada terhadap “ketamakan” (Yun: pleonexia) atau keinginan untuk mendapatkan lebih banyak dari yang seharusnya. Hal ini juga sudah diajarkan dalam Doa Bapa Kami, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (bdk. Matius 6: 11).
Sebagai orang percaya, kita harus menyadari arti kecukupan dalam hidup kita. Artinya, kita perlu mengendalikan hasrat kita agar tidak menjadi orang yang serakah dalam hidup. Bisa membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Maka, kita harus bisa menentukan prioritas utama dalam hidup kita.
Pada ay. 21 Tuhan Yesus mengajari kita untuk menjadi kaya di hadapan Allah. Kaya dalam iman, dengan menjadi ahli waris Kerajaan Allah (bdk. Yakobus 2: 5), serta kaya dengan segala kebajikan, yaitu suka memberi dan berbagi (bdk. 1Timotius 6: 18). Amin!