“Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah”
Markus 1: 1
PENGANTAR INJIL MARKUS
Penulis
Menurut tradisi gereja mula-mula, penulis Injil Markus adalah Yohanes Markus, murid dari Rasul Petrus (Kis. 12: 12), yang kemudian menjadi teman sepelayanan Paulus dan Barnabas (Kis. 12: 25). Hal ini diperkuat dengan tulisan Papias, Uskup Hierapolis, yang hidup pada tahun 60-130 M. Nama “Yohanes Markus” adalah perpaduan antara nama Ibrani: “Yohanes” (Ibrani: Yōkhanan) dan nama Latin: “Markus” (pembela).
Ia dipercaya menuliskan Injilnya berdasarkan cerita dari Petrus ketika mereka berada di Roma. Hal ini diperkuat dengan adanya detail-detail kecil dalam Injil Markus yang menunjukkan bahwa ia memperoleh informasi itu langsung dari saksi mata yang dekat dengan Yesus. Misalnya informasi adanya “perahu-perahu lain” pada waktu Yesus meredakan topan (4: 36) atau ketika Yesus tidur memakai “bantal” (4: 38). Informasi ini bisa diingat oleh orang yang sering berlayar bersama Yesus dan menyaksikan langsung peristiwa itu. Detail lain misalnya Yesus berbicara dengan bahasa Aramaik (mis: 5: 41).
Selain itu, Markus memulai Injilnya dengan kisah Yohanes Pembaptis. Awal kisah ini sama dengan khotbah Petrus dalam Kisah Para Rasul 10: 37-38.
Tetapi, sama seperti Injil Matius, awalnya Injil ini ditulis tanpa nama penulis (anonim). Para ahli modern cenderung menolak pandangan tradisional bahwa Yohanes Markus, yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul adalah penulis Injil ini.
Injil Markus
Injil Markus termasuk dalam “Injil sinoptik” bersama-sama dengan Injil Matius dan Lukas. Diperkirakan Injil ini ditulis pada tahun 50-an atau awal 60-an Masehi ketika Markus dan Petrus melayani di Roma, sehingga oleh para ahli Perjanjian Baru, Injil ini disebut sebagai Injil tertua, yang teksnya dikutip oleh Matius dan Lukas.
Dari gaya penulisannya, maka dipercaya bahwa Injil Markus ditujukan kepada orang-orang non-Yahudi. Kemungkinan ditujukan kepada orang-orang yang tinggal di Roma, Galilea, Antiokhia atau Syria. Tetapi, Roma menjadi tempat yang paling besar kemungkinannya, sebab Petrus melayani di ibu kota Romawi ini. Pada masa pelayanan Petrus, banyak orang non-Yahudi menjadi percaya kepada Kristus dan rindu mendapatkan kisah tentang Sang Anak Allah.
Hal ini bisa dilihat dari bagaimana penulis Injil ini merasa perlu untuk menjelaskan tradisi-tradisi Yahudi (7: 2-4; 15: 42), menerjemahkan istilah-istilah Aramaik (3: 17; 5: 41; 7: 11, 34; 15: 22, 34), penggunaan beberapa istilah Latin [spekoulatōr (6: 27), legeōn (5: 9, 15), kenturiōn (15: 39, 44, 45), praitōrion (15: 16), dan fragellōsas (15: 15)], kurangnya referensi dari Perjanjian Lama, serta ketertarikannya pada isu-isu penganiayaan dan martir (8: 34-38; 13: 9-13).
Injil ini sangat sederhana, ringkas, tanpa banyak “hiasan”, namun cukup jelas untuk berbicara tentang Yesus. Ia fokus pada apa yang Yesus lakukan dibanding yang Yesus katakan. Markus adalah orang yang sangat terobsesi dengan pribadi Yesus, dan jika kita membaca dengan seksama, maka inti Injil ini fokus pada pertanyaan para murid, “Siapa sebenarnya orang ini?” (4: 41). Yesus sendiri mempertegas pertanyaan ini ketika Ia bertanya, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (8: 29), dan Markus telah memberikan jawabannya sejak awal tulisannya, “Yesus Kristus, Anak Allah” (1: 1).
Gaya penulisannya pun sering disebut gaya “bahasa jalanan”, lantaran gaya bahasa Yunaninya yang simpel. Ia berpindah dengan cepat dari satu episode ke episode lain dari kehidupan dan pelayanan Yesus. Hal ini bisa dilihat dari seringnya Markus menggunakan kata keterangan euthus (segera), yang muncul lebih dari 40 kali dalam keseluruhan Injil ini (1: 12, 28, 31, 42; 2: 8, 12; 4: 5, 15-17, 29; dst). Selain itu, ia sering beralih dari bentuk past dan present tense.
Uniknya, Markus sering menyoroti detail cerita (bdk. 2: 1-12; 5: 1-20). Ia juga menggambarkan reaksi emosional orang-orang dalam cerita, baik itu reaksi keheranan (15: 5, 44), takjub (1: 27; 2: 12; 10: 24), ketakutan (9: 6; 10: 32), atau senang (6: 20).
Markus menjadi satu-satunya penulis Injil yang menyebut tulisannya sebagai sebuah “Injil” (euaggelion). Pada pasal 1: 1, ia menyebut tulisannya ini sebagai “permulaan Injil” (arkhē tou euaggeliou) atau semacam pengantar dari Injil. Kelanjutannya adalah melalui khotbah-khotbah dan pengajaran-pengajaran para rasul.
Istilah euaggelion (Injil) ini sangat sering digunakan oleh Markus dibandingkan penulis-penulis kitab Perjanjian Baru lainnya, kecuali Rasul Paulus. Namun, berbeda dengan Rasul Paulus yang membatasi makna Injil pada karya keselamatan melalui kematian dan kebangkitan Kristus, Markus justru menambahkan bahwa kehidupan dan pelayanan Kristus pun disebutnya “Injil”.
Kristologi Markus fokus pada dua gelar penting, “Anak Allah” dan “Anak Manusia”. Gelar “Anak Allah” bahkan menjadi pembuka Injil ini (1: 1), selanjutnya dikonfirmasi dalam peristiwa baptisan Yesus (1: 11), sampai pada pengakuan kepala pasukan ketika Yesus mati disalib (15: 39). Gelar “Anak Allah” ini menekankan keilahian Kristus. Sementara, gelar “Anak Manusia” menekankan sisi kehambaan Kristus. Ia adalah “hamba yang melayani dan menderita” (10: 45; 11-15).
Hal lain yang cukup penting dalam Injil Markus adalah soal mujizat-mujizat Kristus. Markus mencatat 20 kisah tentang mujizat dan penyembuhan atau hampir sepertiga dari keseluruhan Injil ini.
Markus juga menekankan tema “rahasia mesianik”, dimana Yesus melarang murid-murid-Nya untuk merahasiakan siapa diri-Nya atau apa yang Ia lakukan (1: 34, 44; 3: 12; 5: 43; 7: 36; 8: 30; 9: 9).
Yang tidak kalah unik dari Injil Markus adalah penekanannya soal “gagal paham dari para murid”, khususnya kedua belas murid pilihan. Markus cukup kuat menekankan soal “gagal paham” para murid tentang pribadi Kristus serta apa yang dilakukan dan dialami Yesus (bdk. 4: 40; 6: 51-52; 8: 4, 14-21, 33; 9: 2-10; 14: 68-72). Sepertinya, alasan Markus menekankan hal ini adalah karena ia melihat murid-murid itu sebagai representasi dari pemikiran klasik orang-orang Yahudi tentang Mesias. Di sisi lain, Markus mengangkat cerita soal orang-orang non-Yahudi yang justru mengakui pribadi Kristus, misalnya pengakuan kepala pasukan dalam 15: 39.
***
Pengantar Nats:
Injil Markus menceritakan peristiwa Yesus meredakan angin ribut dengan cerita yang lebih detail dibandingkan Matius dan Lukas. Mulai dari waktu keberangkatan dan ajakan Yesus: “Marilah kita bertolak ke seberang” (ay. 35); keputusan mereka meninggalkan orang banyak dan keberadaan perahu-perahu lain (ay. 36); detail hantaman ombak dan perahu yang mulai penuh air (ay. 37); tempat Yesus tidur dan penggunaan “bantal” (TB 1979: “tilam”) (ay. 38); dan perkataan Yesus kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” (ay. 39). Gaya penceritaan ini menunjukkan bahwa Markus mendapatkan informasi cerita ini dari sumber yang menyaksikan langsung peristiwa ini. Seorang yang sudah sering berlayar bersama Yesus, yaitu Petrus. Kalimat kepanikan para murid menunjukkan dengan jelas bahwa mereka belum sungguh-sungguh mengenal bahwa Yesus adalah “Anak Allah”, meskipun sebelumnya mereka telah menyaksikan begitu banyak mujizat Yesus.
Pembahasan:
Sebelumnya kita sudah membahas cerita ini menurut versi Lukas, yang memaklumi “rasa takut” sebagai ekspresi manusiawi dalam merespons badai: “Iman mengalahkan rasa takut”, dan kemudian menurut versi Matius, yang fokus pada konsep Kristologi: “Iman harus ditujukan kepada Yesus, yang ilahi dan berkuasa”. Kali ini kita melihat sudut pandang Markus, yang fokus pada dua hal, yaitu mujizat itu sendiri dan “gagal paham”-nya para murid, sehingga mereka seolah-olah menyalahkan Yesus yang sedang tidur, “Guru, tidak pedulikah Engkau kalau kita binasa?” Kadang-kadang kita menyalahkan Tuhan atas “badai” atau kondisi kita yang kurang baik, seolah-olah Tuhan tidak peduli meskipun kita setia mengikut Dia. Bagaimana supaya kita tidak mudah menyalahkan Tuhan atas pergumulan atau kondisi kita yang kurang baik?
Pengantar Nats:
Cerita permintaan untuk duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus dalam kemuliaan juga dicatat dalam Injil Matius (20: 20-28). Namun, dalam tulisan Matius, permintaan itu disampaikan oleh ibu-ibu dari Yakobus dan Yohanes. Sementara, menurut Markus, permintaan itu disampaikan langsung oleh kedua murid Yesus yang paling awal dan paling dekat (1: 19-20; 5: 37; 9: 2). Hal ini memperkuat karakteristik Markus tentang kekurangpahaman para murid mengenai pribadi Yesus. Perbedaan lain adalah gambaran penderitaan dan sengsara. Matius hanya menggunakan metafora “cawan” (potērion) (Mat. 20: 23), sementara Markus menggunakan metafora “cawan” dan “baptisan” (ay. 38). Tampaknya, penggunaan metafora “baptisan” sebagai simbol sengsara dan kematian lebih diterima di kalangan Kristen-Yunani dibanding Kristen-Yahudi, sehingga metafora ini juga digunakan oleh Lukas (12: 50) dan Paulus (Rm. 6: 4; Kol. 2: 12). Selanjutnya, permintaan Yakobus dan Yohanes menimbulkan amarah di antara murid-murid yang lain, sehingga perkataan Yesus pada ay. 41-45 hendaknya dilihat dalam dua konteks ini: Pertama, permintaan Yakobus dan Yohanes itu sendiri; dan kedua, respons murid-murid yang lain terhadap permintaan mereka.
Pembahasan:
Yesus mengajarkan murid-murid-Nya untuk tidak meniru pola kepemimpinan dunia, yang menggunakan tangan besi dan kekerasan. Ia meminta mereka belajar dari diri-Nya, “Anak Manusia” (ho huios tou anthrōpou) yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Prinsipnya adalah siapa yang ingin menjadi yang terbesar, hendaklah menjadi “pelayan” (diakonos), dan yang ingin menjadi terkemuka, hendaklah menjadi “hamba” (doulos). Ini jugalah yang hendaknya menjadi prinsip dalam pelayanan orang-orang percaya, sehingga ketika menjadi pemimpin tidak memimpin dengan “tangan besi” dan “kekerasan”. Begitu juga ketika memilih pemimpin, hendaknya memilih pemimpin yang mau melayani. Bagaimana sikap orang percaya dalam memilih pemimpin yang dikehendaki Kristus?
Pengantar Nats:
Perkataan atau pesan terakhir Yesus kepada murid-murid-Nya setelah Ia bangkit dicatat juga oleh Matius, Lukas dan Yohanes. Masing-masing fokus pada tema penting dalam teologi mereka: Matius menekankan pada perintah “pemuridan” (Mat. 28: 19-20), Lukas menekankan pada “janji pemberian Roh Kudus” (Luk. 24: 48-49), dan Yohanes menekankan soal “pemulihan” dan “penggembalaan”, yang secara khusus disampaikan kepada Petrus (Yoh. 21: 15-19). Demikian juga dengan Markus, ada karakteristik teologinya yang kental dalam perikop yang kita baca ini, mulai dari ketidakpercayaan murid-murid Yesus (ay. 14), penggunaan istilah “Injil” (ay. 15 bdk. 1: 1), hingga “mujizat” atau “tanda-tanda” (sēmeion) (ay. 17-18). Injil Markus adalah kitab Injil yang paling sering menggunakan kata “Injil” (euaggelion). Rasul Paulus adalah yang paling banyak menggunakan kata “Injil”. Namun, Markus memiliki pemahaman Injil yang lebih luas, yaitu mencakup pribadi dan kehidupan Yesus (1: 1), serta pemberitaan Kristus (1: 14-15). Sementara, Rasul Paulus hanya fokus pada pengertian yang kedua.
Pembahasan:
Ada beberapa poin penting dari catatan Markus mengenai “pemberitaan Injil”. Pertama, amanat pemberitaan Injil adalah amanat langsung dari Yesus (ay. 15); Kedua, Injil harus diberitakan ke seluruh dunia (ay. 15); Ketiga, respons yang diharapkan bukan hanya sekedar “percaya”, tetapi juga memberi diri “dibaptis” (ay. 16); Keempat, dalam pemberitaan Injil, Allah “turut bekerja” (sunergeō) (ay. 20); dan kelima, setiap pemberita Injil diteguhkan dengan “tanda-tanda” (sēmeion) (ay. 17-18). Di era sekarang dan dalam konteks lingkungan tempat kita berada sekarang, bagaimana supaya pemberitaan Injil menjadi lebih efektif dan efisien menjangkau lebih banyak orang?
Pengantar Nats:
Perumpamaan ini hanya dicatat dalam Injil Markus. Meskipun sangat singkat, tetapi makna perumpamaan ini begitu dalam untuk menganalogikan kekuatan Injil. Dalam perumpamaan ini, Injil yang diberitakan diumpamakan seperti “benih” (sporos) yang ditaburkan di “tanah” atau ke “bumi” (gē). Penggunaan analogi “benih” sangat signifikan bagi orang-orang non-Yahudi. Lukas juga menggunakan analogi yang sama (bdk. Luk. 8: 5, 11), begitu juga dengan Rasul Paulus (bdk. 2Kor. 9: 10). Namun, mereka menggunakan analogi “benih” dalam pengertian yang berbeda. Lukas merujuk pada “firman Allah”, Paulus merujuk pada “berkat”, sedangkan Markus berbicara tentang “Injil”. Benih itu akan bertumbuh secara natural, meskipun sang penabur tertidur (ay. 27). Demikian juga dengan “Injil” yang diberitakan, tidak akan pernah sia-sia ketika ia diberitakan di “tanah” yang tepat. Pertumbuhannya terjadi tanpa kita ketahui (ay. 27), sebab Kerajaan Allah bukanlah capaian dan usaha kita, melainkan karya Allah. Dialah yang menumbuhkannya.
Pembahasan:
Para pemberita Injil hanya “bekerja” menaburkan benih, tetapi Tuhanlah yang menentukan pertumbuhannya. Karena itu, dalam memberitakan Injil kita harus percaya lebih dulu pada “kekuatan Injil”. Setiap “benih Injil” yang kita tabur dapat menemukan caranya sendiri untuk bertunas, bertumbuh dan berbuah di dalam “tanah” (hati) seseorang pada “waktu Tuhan”—bukan waktu kita. Jadi, dibutuhkan pemahaman yang benar dalam memberitakan Injil. Kita tidak bisa mengharapkan perubahan yang instan, tetapi harus tunduk pada proses Tuhan. Bagaimana supaya kita dapat dengan tekun dan sabar memberitakan Injil kepada orang-orang di sekitar kita?