
Puasa Bagi Orang Kristen
Seringkali muncul pertanyaan di antara jemaat: Apakah orang Kristen wajib menjalankan puasa? Bagaimana dan kapan orang Kristen berpuasa? Bisakah puasa orang Kristen batal dan bagaimana menggantinya?
Puasa dalam Alkitab
Untuk memahaminya, marilah kita mulai dari tradisi puasa dalam Alkitab. Puasa pertama kali dijalankan oleh Musa ketika ia menerima dua loh batu yang baru di Gunung Sinai. Dalam Keluaran 34:28 (TB2) diceritakan, “Musa berada di sana bersama TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya. Ia tidak makan roti maupun minum air. Ia menulis pada loh-loh itu kata-kata perjanjian, Kesepuluh Firman”. Jadi, puasa Musa ini dijalankan atas inisiatifnya sendiri untuk memfokuskan diri pada perjumpaan dengan TUHAN dan menerima firman TUHAN. Belum ada istilah “puasa” dalam kisah Musa ini, bahkan dalam keseluruhan kitab Taurat.
Istilah yang biasanya diterjemahkan “berpuasa” dalam kitab Taurat adalah ‘annoth nafesh (עַנֹּת נָפֶשׁ), yang biasanya diterjemahkan “merendahkan diri dan berpuasa”. Istilah yang secara khusus berarti “puasa” baru muncul pada zaman Hakim-hakim. Dalam bahasa Ibrani, kata yang digunakan adalah kata tsūm (צוּם), yang secara harfiah berarti “menutup mulut” atau “berpantang”. Istilah ini pertama kali digunakan dalam Hakim-hakim 20:26 ketika orang-orang Israel berperang melawan bani Benyamin.
Daud melakukan tsūm (puasa) ketika anaknya dari Batsyeba sedang sakit. Puasa dilakukan Daud untuk memohon belas kasihan dan pengampunan dari TUHAN. Dalam 2Samuel 12:16-17 (TB2) dituliskan, “Lalu Daud memohon kepada Allah untuk anak itu. Ia berpuasa dengan sungguh-sungguh, masuk ke kamar dan semalaman berbaring di tanah. Kemudian datanglah tua-tua istana kepadanya untuk meminta dia bangun dari tanah, tetapi ia tidak mau. Ia juga tidak mau makan bersama mereka.”
Sekali lagi, tindakan puasa Daud dilakukan atas inisiatifnya sendiri untuk memohon belas kasihan dan pengampunan TUHAN. Meskipun ia telah sungguh-sungguh berpuasa, tetapi pada hari ketujuh, anaknya meninggal. Setelah mengetahui anaknya meninggal, Daud meminyaki dirinya, berganti pakaian, sujud menyembah Allah, lalu berhenti berpuasa (bdk. 2Samuel 12:19-23).
Puasa berikutnya dijalankan oleh orang-orang Yahudi atas permintaan Ester, “Pergilah, kumpulkan semua orang Yahudi yang ada di Susan dan berpuasalah untuk aku. Jangan makan dan minum selama tiga hari, siang dan malam. Aku serta dayang-dayangku pun akan berpuasa demikian. Kemudian aku akan masuk menghadap raja, meskipun berlawanan dengan undang-undang. Kalau aku harus mati, biarlah aku mati.” (Ester 4:16). Puasa Ester ini dilakukan sebagai bentuk permohonan dukungan untuk keselamatan dirinya.
Puasa yang dijalankan oleh Daniel lebih unik. Dalam kitab Daniel, setidaknya dua kali ia menjalankan puasa, yang mana keduanya dalam bentuk puasa parsial. Puasa pertama dituliskan dalam Daniel 1:12, “Silakan uji hamba-hambamu ini selama sepuluh hari. Biarlah kami diberi sayur untuk dimakan dan air untuk diminum”. Permintaan Daniel itu ia sampaikan ketika ia dan rekan-rekannya (Hananya, Misael, dan Azarya) ditawari makanan dari meja raja Nebukadnezar. Ia bertekad untuk tidak menajiskan diri dengan makanan dan minuman raja, yang kemudian berisi makanan-makanan yang tidak sesuai dengan hukum Yahudi (bdk. Daniel 1:8). Artinya, puasa Daniel ini lebih kepada tekadnya untuk memelihara hukum Allah dan tidak mengotori dirinya.
Puasa kedua dilakukan Daniel untuk memahami firman yang ia terima berisi visi tentang perang besar yang akan terjadi (Daniel 10:1). Merespons firman itu, Daniel berketetapan untuk berkabung selama tiga minggu penuh. “Pada waktu itu aku, Daniel, berkabung selama tiga minggu. Makanan sedap tidak kumakan, daging dan anggur tidak masuk ke dalam mulutku, dan aku tidak memakai minyak sampai genap tiga minggu” (Daniel 10:2). Jadi, puasa kedua Daniel ini lebih ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan fokus untuk memahami firman-Nya.
Selanjutnya adalah puasa yang dilakukan oleh orang-orang Niniwe dalam Yunus 3:5, “Lalu orang Niniwe percaya kepada Allah. Mereka mengumumkan puasa, dan semuanya, baik orang dewasa maupun anak-anak, mengenakan kain kabung”. Uniknya, puasa Niniwe juga dilakukan oleh binatang-binatang atas perintah raja dan para pembesar negeri itu (bdk. Yunus 3:7). Puasa ini mereka jalankan setelah mereka mendengarkan firman TUHAN melalui Yunus, yang berisi peringatan akan dosa-dosa mereka, serta seruan untuk bertobat. Jadi, puasa mereka merupakan tanda penyesalan dan pertobatan atas segala dosa yang telah mereka perbuat.
Pada zaman Tuhan Yesus, puasa menjadi praktik keagamaan yang penting. Sebelum memulai pelayanan-Nya, Tuhan Yesus berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam (bdk. Matius 4:1-2; Lukas 4:1-2). Ia juga memberikan pengajaran tentang hal berpuasa, yang menekankan soal ketulusan hati, bukan untuk pamer: “Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Mereka sudah mendapat upahnya. Namun, apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Bapamu yang melihat hal yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Matius 6:16-18).
Puasa tetap dilakukan pada zaman para rasul. Ketika para rasul akan mengutus Paulus dan Barnabas, mereka berpuasa dan berdoa (bdk. Kisah Para Rasul 13:2-3), demikian juga ketika mereka menahbiskan penatua-penatua (14:23).
Artikel Terkait
Dari semua penggambaran puasa dalam Alkitab, maka dapat disimpulkan bahwa berpuasa dalam Alkitab bukanlah sebagai kewajiban hukum, melainkan lebih ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, fokus pada firman Tuhan, dan berupaya untuk memahami kehendak-Nya. Alkitab tidak menetapkan aturan yang ketat mengenai waktu atau cara berpuasa, melainkan lebih menekankan pada kerelaan hati untuk menjalankannya.
Puasa Dalam Tradisi Gereja
Baik Gereja Ortodoks, Katolik, maupun Protestan mengenal konsep puasa. Secara umum, gereja-gereja melakukan puasa pada Masa Prapaskah (Lent), dimana puasa wajib dilakukan pada Jumat Agung. Bagi gereja-gereja Barat, puasa wajib juga biasanya dilakukan pada Rabu Abu, yang menandai dimulainya Masa Prapaskah. Gereja Ortodoks juga melakukan Puasa Natal, yang dilakukan pada Masa Advent.
Bagi Gereja Ortodoks, puasa dilakukan dengan tidak memakan daging, produk susu (susu, keju, telur), ikan, minyak zaitun, dan anggur (alkohol). Sementara yang diperbolehkan adalah sayur, buah, kacang-kacangan, roti, dan air. Pada Jumat Agung, hanya diperbolehkan makan roti dan minum air, bahkan ada juga yang tidak makan sama sekali hingga sore hari.
Bagi Gereja Katolik, puasa dilakukan dalam dua bentuk: Fasting, yaitu hanya satu kali makan sampai kenyang dalam sehari, dan diperbolehkan meminum air; dan abstinensi, yaitu menahan diri dari sesuatu, seperti berhubungan seksual, makan makanan tertentu, mencari kesenangan, dan sebagainya.
Bagi Gereja Protestan, tidak ada aturan baku soal puasa. Jemaat dapat memilih untuk melakukan puasa penuh (hanya minum air), puasa parsial (hanya makan makanan tertentu), atau puasa non-makanan (media sosial, belanja bukan kebutuhan pokok, dll).
Bagaimana Kita Menjalankan Puasa?
Karena ada begitu banyak tradisi puasa dalam gereja, maka kita mungkin bingung mau memilih tradisi yang mana. Pada dasarnya, penekanan dari setiap praktik keagamaan dalam kekristenan adalah soal kerelaan hati untuk menjalankannya, bukan soal kewajiban. Jadi, jika kita sungguh-sungguh ingin fokus mendekatkan diri pada Tuhan dan memahami kehendak Tuhan dalam kehidupan kita, maka jalankanlah puasa dengan sukarela.
Kita bisa memilih untuk menjalankan model puasa yang mana: Pertama, puasa penuh (fasting) dengan tidak makan sama sekali dalam periode tertentu, misalnya dari matahari terbit sampai dengan terbenam atau bisa juga dengan durasi yang lebih panjang. Minum air putih bisa tetap dilakukan, sebaiknya tidak mengonsumsi minuman lain, apalagi yang dicampur pemanis.
Puasa penuh juga bisa dijalankan dengan cara hanya makan sampai kenyang sekali dalam sehari dan maksimal dua kali makan kecil (kurang dari satu porsi biasa), seperti dalam tradisi Gereja Katolik.
Kedua, puasa parsial yaitu hanya memakan makanan tertentu, misalnya makanan-makanan nabati, bukan hewani. Bisa juga dengan menghindari daging dan menggantinya dengan ikan. Dengan kata lain, kita membiasakan diri untuk mengonsumsi makanan sehat bagi tubuh kita dan menolak makanan-makanan yang tidak sehat.
Ketiga, puasa non makanan (abstinensi) yaitu dengan menyatakan komitmen untuk tidak melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk yang ingin dihilangkan. Misalnya kebiasaan merokok, berbicara kasar atau kotor, tidak disiplin waktu, malas, berbelanja hal-hal yang bukan kebutuhan pokok, dan sebagainya.
Beberapa hal penting yang harus kita perhatikan ketika berpuasa adalah: Pertama, diisi dengan membaca dan mempelajari firman Tuhan; Kedua, diisi dengan berdoa, serta memuji dan menyembah Tuhan; Ketiga, diisi dengan pengakuan dosa; Keempat, mengendalikan diri, bukan hanya terkait pantangan yang kita pilih (puasa penuh, parsial atau puasa non-makanan) tetapi juga mengendalikan emosi dan nafsu kita; dan kelima diisi dengan tindakan kasih yang nyata, misalnya berbagi dengan sesama atau menolong orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita.

Penulis:
Yosi Rorimpandei
Koordinator Komisi Pengajaran GKRIDC